ASPEK HUKUM DALAM INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
- Keperdataan ; menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
- Administrasi Negara; menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
- Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
- Pidana : menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang diperkenankan.
Konrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.
Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:
- para pihak
- isi atau rumusan pekerjaan
- jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
- tenaga ahli
- hak dan kewajiban para pihak
- tata cara pembayaran
- cidera janji
- penyelesaian tentang perselisihan
- pemutusan kontrak kerja konstruksi
- keadaan memaksa (force majeure)
- tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
- perlindungan tenaga kerja
- perlindungan aspek lingkungan.
Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM JASA KONSTRUKSI
- Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
- PP No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
- PP No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
- PP No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
- Kepres RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut perubahannya
- Kepmen KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
- Surat Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006
- Peraturan Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing
- dan peraturan-peraturan lainnya
Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
- Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
- Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.
Perbuatan Melawan Hukum adalah ; perbuatan yang sifatnya langsung melawan hokum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hokum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).
Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang
Aspek Hukum Pidana
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;
Pasal 378 KUHP (penipuan) ;
“ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Pasal 372 KUHP (penggelapan) ;
“ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Pidana Korupsi ; persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah ;
- Perbuatan melawan hukum;
- Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
- Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan(BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan / atau berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu ;
- Peringatan tertulis
- Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
- Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
- Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
- Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi
- Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi.
KONTRAK FIDIC
Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari asosiasi-asosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Dari asalnya sebagai suatu organisasi Eropa, FIDIC mulai berkembang setelah Perang Dunia ke II dengan bergabungnya Inggris pada tahun 1949 disusul Amerika Serikat pada tahun 1958, dan baru pada tahun 70-an bergabunglah negara-negara NIC, Newly Industrialized Countries, sehingga FIDIC menjadi organisasi yang berstandar internasional.
Didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri konstruksi. Sejak diterbitkannya edisi ke-1 pada tahun 1957, maka edisi ke-2 diterbitkan pada tahun 1969, edisi ke-3 pada tahun 1977 dan edisi ke-4 pada tahun 1987 yang dicetak ulang dengan beberapa amandemen pada tahun 1992.
Pada tahun 1999 telah dikeluarkan edisi ke-1 dari satu dokumen standar yang sama sekali baru tentang persyaratan kontrak untuk pekerjaan konstruksi, yaitu “Conditions of Contract for Building and Engineering Works Designed by the Employer”. Pada FIDIC tersebut, hal yang penting adalah diterapkannya suatu pembagian risiko yang berimbang antara pihak-pihak yang terkait dalam suatu pembangunan proyek, yaitu bahwa risiko dibebankan kepada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut.
Keabsahan kontrak perlu adanya beberapa struktur atau unsur yang wajib di adakan dalam kontrak seperti hal nya;
- Adanya pelaku kontrak: Perorangan/Badan yang sah dengan hukum dan mempunyai kriteria untuk mengadakan atau mengikuti kegiatan dalam pekerjaan ini.
- Adanya aturan-aturan penyusunan kontrak yang berkesinambungan atau tidak berat dan cacat sebelah.
- Dasar-dasar pembuatan Kontrak yang mencerminkan tidak adanya perbedaan.
- Prosedur–prosedur untuk pembuatan kontrak demi menghindari kecurangan-kecurangan ataupun kesalahan.
Pelaku
Pemilik/Employer: Perorangan/badan yang di sahkan oleh hukum dan berhak membuat suatu Kegiatan atau bentuk proyek konstruksi yang mana faktor pembiayaannya di atur olehnya.
Kontraktor: Pelaksana/Pemberi jasa terhadap Pemilik Proyek yang telah di berikan kewenangan yang sah oleh pemilik proyek untuk melaksanakan kegiatan atau pekerjaan proyek konstruksi yang telah di atur dalam kontrak.
Sub Kontraktor: Pelaksana/Pemberi Jasa terhadap Pemilik Proyek yang di berikan kewenangan yang sah oleh kontraktor untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dalam kontrak dan menjadi tanggung jawab kontraktor (dengan menggunakan Kontrak perjanjian kerja berbeda).
- Permanent: Sub kontraktor dengan adanya kontrak perjanjian berbeda yang namanya di sebutkan di dalam kontrak yang di setujui oleh pemilik untuk melakukan sebagian perkerjaan dan di atur dalam kontrak serta pembiayaannya menjadi tanggung jawab kontraktor.
- Contoh: Sub kontraktor untuk supply Material skala besar/prioritas utama/ Fabrication, Manufacturing.
- Temporary: Sub kontraktor yang bersifat sementara dengan adanya kontrak perjanjian dengan kontraktor dan melakukan sebagian pekerjaaan di dalam kontrak yang namanya tidak di sebutkan di dalam kontrak dengan pemilik dan menjadi tanggung jawab kontraktor.
- Contoh: Sub contractor untuk Tenaga Kerja.
Engineer/Tenaga Ahli: Pelaksana/pemberi jasa terhadap pemilik Proyek yang di berikan kewenangan dari pemilik proyek yang sah untuk melakukan Pengawasan pekerjaan dalam proyek dengan adanya penunjukan dari pemilik proyek yang ditentukan di dalam kontrak.
- Pengertian lain: Kewenangan untuk mewakili pemilik proyek dalam memberikan persetujuan, pendapat terhadap tindak lanjut aktifitas proyek kepada Kontraktor. Dalam hal ini Engineer tidak terlibat dalam Proses Konstruksi.
Engineer Representatif: Pelaksana/pemberi jasa terhadap pemilik Proyek yang di beri kan kewenangan dari pemilik proyek yang sah untuk melakukan Pengawasan pekerjaan dalam proyek (Assistant Engineer) dengan adanya penunjukan dari Engineer yang ditentukan di dalam kontrak terpisah.
Dalam pembuatan kontrak aturan-aturan yang di adopsi seperti halnya:
Aturan yang mengikat: Jelas di dalam kontrak telah dan wajib diatur/aturan yang harus dipatuhi baik masalah jenis pekerjaan, waktu pekerjaan, apa saja di dalam kontrak yang di buat pemilik dan di setujui Kontraktor
Aturan Fleksibel: Penjelasan aturan yang mengikat dapat menjadi fleksible dengan poin-poin tertentu, apabila aturan/isi di dalam kontrak tidak sesuai atau perlu adanya perubahan yang di buat setelah adanya diskusi atau penelitian ulang oleh kontraktor dan engineer serta kemudian di ajukan usulan kepada pemilik. Contoh: Perpanjangan Waktu karena faktor sebab, penambahan atau pengurangan atau perubahan jenis material, dan lain sebagainya.
Modal dasar pembuatan kontrak itu wajib di dasari dengan kriteria sebagai berikut :
- Melihat hak dan mengaplikasikannya.
- Melihat kewajiban dan mengaplikasikannya.
- Melihat tanggung jawab dan mengaplikasikannya.
Ketiga kriteria tersebut harus terdapat dalam penyusunan kontrak, karena tanpa kriteria tersebut akan berpengaruh pada proyek sehingga tidak dapat berjalan semestinya sesuai kontrak. 3 kriteria tersebut menitik beratkan ke dalam hal pekerjaan dan pembiayaannya.
Syarat-Syarat: Ketentuan umum di mulai dari pelelangan yang dijadikan prioritas utama dan penentuan pemenang tender Proyek. Syarat-syarat ini juga berupa:
- Syarat-syarat umum (General Condition)FIDIC : ada 25 syarat 72 pasal
Beberapa syarat-syarat penting:
- Definisi dan Interpretasi.
- Perubahan-Perubahan.
- Pelimpahan Kontrak.
- Jumlah Perkiraan.
- Dokumen Kontrak.
- Perbaikan-Perbaikan.
- Kewajiban-Kewajiban Umum.
- Resiko Khusus.
- Penangguhan Pekerjaan.
- Pembebasan dari Pelaksanaan.
- Pelaksanaan & Kelambatan.
- Penyelesaian Perselisihan.
- Tanggung Jawab Atas Cacat.
- Kesalahan Pengguna Jasa.
Syarat-syarat Khusus (Condition of Particular) FIDIC, antara lain:
- Definisi kata/Istilah tertentu.
- Bahasa dan Hukum yang berlaku.
- Prioritas Dokumen.
- Jaminan Pelaksanaan.
- Bonus Penyelesaian.
- Arbitrase.
- Kesalahan Pengguna Jasa/Penyedia Jasa.
FIDIC membagi bentuk kontrak di lihat dari beberapa kondisi.
Kontrak Proyek Konstruksi Skala Besar yang pekerjaannya bersifat keseluruhan/atau di mulai dari Tahap Perencanaan. (RED BOOK) Pelaku kontrak yang menjadi putusan adalah antara Pemilik Proyek dengan Kontraktor Pembiayaan bersifat Lump sum.
- Tanggung jawab dalam pembuatan desain oleh Pemberi/Pemilik Proyek.
- Tetapi beberapa desain boleh dibuat oleh kontraktor.
- Administrasi kontrak, supervisinya, dan sertifikasinya, Persetujuan Progress Kerja untuk proses pembayaran oleh Engineer.
- Pembayaran dilihat/di ukur dari Progress pekerjaan dan di bayar menurut Bill of Quantities di dalam kontrak.
Kontrak Proyek Konstruksi Skala Besar yang pekerjaannya bersifat sebagian/atau bisa di mulai dari tahap Perencanaan. (YELLOW BOOK) Pelaku Kontrak yang menjadi Putusan adalah Pemilik Dengan Kontraktor dan faktor pembiayaannya bersifat Lump Sum.
- Tanggung Jawab desain dari kontraktor.
- Tetapi beberapa desain boleh di buat oleh Employer (Engineering Personell).
- Pemilik Proyek memberikan draft list untuk kebutuhan/keinginan dan kontraktor mendesainnya.
- Administrasi kontrak, supervisinya, dan sertifikasinya oleh Engineer.
- Proses Pembiayaan biasanya sesuai schedule/bisa dengan pembicaraan. Tidak seperti dalam RED BOOK.
Kontrak Proyek EPC/TURNKEY skala besar yang pekerjaannya bersifat Perubahan, penggantian ataupun penambahan. (SILVER BOOK) Pelaku Kontrak yang menjadi Putusan adalah antara Pemilik Proyek dengan Kontraktor, faktor pembiayaan bersifat lump sum.
Tanggung jawab desain dari Kontraktor:
- Pemilik Proyek memberikan spesifikasi/type/kebutuhan yang di inginkan.
- Engineering, Procurement, Construction di kerjakan penuh oleh kontraktor.
- Tidak ada penggunaan Engineer oleh pemilik proyek. Kebutuhan Engineer diadakan kontraktor.
- Kontraktor di berikan kebebasan dalam melakukan cara untuk mengerjakan proyek.
Kontrak Proyek dengan Skala kecil (SHORT) atau relative dari segi pekerjaaan ataupun waktu pengerjaan proyeknya (GREEN BOOK) Pelaku Kontrak yang menjadi Putusan adalah antara Pemilik Proyek dengan Kontraktor, faktor pembiayaan bersifat lump sum tetapi bisa juga tidak.
Tanggung Jawab desain bisa antara dua pelaku:
- Sum dari kontrak tidak mengatur Monitoring progress, tetapi tingkat kerumitan pekerjaan.
KLAIM KONTRAK
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan klaim konstruksi dapat terjadi antar para pihak yang berkontrak. Tegasnya klaim mungkin saja datang dari pihak Penyedia Jasa kepada Pengguna Jasa atau sebaliknya. Jadi tidak benar bila klaim hanya datang dari pihak Pengguna Jasa atau sebaliknya hanya Pengguna Jasa yang boleh mengajukan klaim.
Disamping itu klaim dapat juga terjadi dari pihak lain diluar kontrak seperti Konsultan Pengawas/Perencana, para Sub Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa.
Arti klaim sesungguhnya adalah permintaan/permohonan mengenai biaya, waktu dan atau kompensasi pelaksanaan diluar ketentuan tercantum dalam kontrak konstruksi. Jadi adalah suatu kekeliruan/salah pengertian yang menganggap klaim adalah suatu tuntutan. Memang benar klaim adakalanya berakhir dengan suatu tuntutan baik melalui suatu Badan Peradilan atau Lembaga Arbitrase apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan.
Pengajuan klaim dapat dengan berbagai cara dan yang paling sederhana berupa permintaan lisan sampai dengan permintaan yang disusun secara tertulis lengkap dengan data pendukungnya.
kategori klaim klaim dapat terjadi dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa atau sebaliknya. Berdasarkan hal ini klaim dapat dikategorikan dalam 2 hal yaitu Dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa berupa : a. Pengurangan nilai kontrak b. Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan c. Kompensasi atas kelalaian Penyedia Jasa
Dari Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa berupa : a. Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan b. Tambahan kompensasi c. Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
Sebab-sebab timbulnya Klaim Sesungguhnya dalam Industri Jasa Konstruksi, klaim adalah suatu hal yang sangat wajar terjadi. Di negara Barat yang Industri Jasa Konstruksinya sudah berkembang dan para pelaku Industri Jasa Konstruksi menyadari betul arti sebuah klaim, maka hal ini menjadi biasa.
Sebagai ilustrasi, sewaktu bertugas di Saudi Arabia terasa asing dikuping sewaktu Pengguna Jasa menanyakan : “Do you have any claim to us ?”
Di Indonesia hampir tak pernah ada Pengguna Jasa yang bertanya seperti kejadian di Saudi Arabia tersebut.
Hal ini tak lain karena salah pengertian mengenai arti sesungguhnya dari klaim sehingga dianggap sesuatu yang “tabu”.
Jadi sebagaimana dengan perubahan pekerjaan, klaim dapat berasal dari mana saja. Walaupun ada beberapa sebab timbulnya klaim, tetapi hampir semuanya memiliki dasar dalam tindakan atau pengurangan dari salah satu pihak dalam kontrak namun dapat juga yang kurang sering terjadi seperti sebab-sebab dari pihak ketiga, tindakan/keinginan Tuhan atau hal lain yang menyebabkan pihak yang mengajukan klaim pihak yang mengajukan klaim menderita rugi.
Dalam pelatihan ini kita batasi sebab-sebab timbulnya klaim antara para pihak dalam suatu kontrak konstruksi yaitu antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa.
Dari pihak Pengguna Jasa a. Pekerjaan yang dilaksanakan Penyedia Jasa cacat atau kurang sempurna. b. Penyedia jasa terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak. c. Pemutusan kontrak
Dari pihak Penyedia Jasa a. Kelambatan atau cacat informasi yang harus diserahkan Pengguna Jasa seperti gambar-gambar atau spesifikasi. b. Kelambatan atau cacat dari bahan atau peralatan yang harus disediakan Pengguna Jasa. c. Perubahan ketentuan-ketentuan, gambar-gambar atau spesifikasi teknis. d. Perubahan atau keadaan lapangan yang tidak diketahui e. Reaksi dari pengaruh pekerjaan yang berturutan. f. Larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan dari pelaksanaan proyek. g. Kontrak yang kurang jelas/perbedaan penafsiran.
Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering
terjadi adalah mengenai waktu dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan.
Bila pekerjaan di ubah ketakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan
jenisnya berubah maka tidak terlalu sulit untuk menghitung berapa tambahan
biaya yang di minta Penyedia Jasa beserta tambahan waktu.
Namun terkadang Penyedia Jasa, di samping klaim yang di
sebutkan tadi juga klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah.
Menghitung klaim biaya untuk hal ini tidaklah mudah.
Hal ini dapat di terangkan sebagai berikut : suatu pekerjaan
yang tidak di rubah terpaksa (karena alasan teknis pelaksanaannya) di tunda
pelaksanaannya karena ada pekerjaan lain yang berubah. Pekerjaan yang tidak
berubah tadi seharusnya di kerjakan pada musim kemarau. Oleh karena terjadi
penundaan maka pekerjaan ini terpaksa di laksanakan dalam musin hujan yang
mengakibatkan menurunnya produktivitas dan perlu tambahan biaya untuk
melindungi pekerjaan tersebut dari pengaruh cuaca (hujan).
Belum lagi kemungkinan terjadi kenaikan upah buruh karena
musim hujan tambahan tenaga pengamanan, biaya administrasi dan overhead.
Sengketa konstruksi adalah sengketa
yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara
para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi.
Penyebab sengketa konstruksi antara
lain:
1.
Klaim tidak dilayani.
2. Pengguna jasa tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan
& tidak memiliki dana yang cukup.
Sengketa
konstruksi terdiri dari 3 bagian:
1.
Sengketa pra konstruksi
2.
Sengketa tahap konstruksi
3.
Sengketa pasca konstruksi
Masalah-masalah
yang sering dipersengketakan dalam bidang jasa konstruksi:
1.
Mangkraknya waktu pelaksanaan.
2.
Belum terbayarnya lahan.
3.
Perubahan jadwal kerja.
4.
Construction changes.
5.
Cuaca buruk.
6.
Percepatan jadwal pembangunan.
7.
Changes orders.
8.
Kegagalan pembayaran oleh pemilik.
9.
Perbedaan gambar rencana dengan realita.
10.
Kenaikan harga material.
11.
Perubahan peraturan pemerintah.
12.
Kelemahan administrasi proyek.
13.
Penggunaan sebagian dari pekerjaaan belum serah terima.
14.
Miskomunikasi.
Sengketa
dapat diselesaikan melalui beberapa cara:
1.
Pengadilan
2.
Arbitrase
3.
Alternatif penyelesaian sengketa (konsultasi, negosiasi,
mediasi)
·
Penyelesaian melalui pengadilan
Penyelesaian
melalui pengadilan merupakan upaya penyelesaian sengketa, apabila upaya yang
sudah dilakukan menemui jalan buntu. Pengadilan adalah jalan terakhir untuk
menyelesaikan sengketa. Pengadilan membutuhkan waktu paling lama untuk 30 hari
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dari sejak hari penandatanganan.
Kekurangan
yang tidak diminati oleh pelaku jasa konstruksi penyelesaian melalui
pengadilan:
1.
Membutuhkan waktu lama.
2.
Biaya yang tidak sedikit.
3.
Para hakimnya hanya memiliki pengetahuan hukum
4.
Sifatnya terbuka
·
Penyelesaian melalui arbitrase
Arbitrase
adalah sebuah perjanjian dimana pihak-pihak yang bersengketa sepakat untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dengan pihak orang-orang ketiga yang dipilih
sendiri oleh ledua pihak.
Arbitrase
dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Arbitrase Ad Hoc
- Arbitrase ini
sering disebut sebagai arbitrase sukarela.
- Bersifat
sementara/tidak permanen.
- Arbitrase ini
tidak ada sebelum sengketa terjadi.
2.
Arbitrase Institusional
- Suatu instansi
arbitrase yang bersifat permanen.
- Lengkap dengan
arbiter, kepengurusan, tempat sidang, peraturan prosedur yang baku.
Lembaga
arbitrase di Indonesia diantaranya adalah BANI ,dan BAMUI
Lembaga
arbitrase internasional diantaranya adalah ICC, ICSID, DAN UNCITRAL
Kelebihan Arbitrase
|
Kekurangan Arbitrase
|
Waktu prosedur dan biaya lebih
efisien. Putusan bersifat final dan tertutup untuk upaya hokum banding atau
kasasi.
|
Relatif sulit untuk membentuk Majlis
Arbitrase apabila Lembaga Arbitrase Ad Hoc.
|
Bebas dari oconom menentukan rules
dan instansi arbitase.
|
Putusan Arbitrase tidak memiliki
daya paksa yang efektif dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan
tidak dijalankan dengan sukarela.
|
Pertimbangan hukum lebih
mengutamakan aspek privat.
|
Tidak memiliki juru sita sendiri
sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme Arbitrase secara
efektif.
|
·
Alternatif penyelesaian sengketa
Cara
alternatif adalah cara termurah, termudah dan tercepat dibanding denganarbitrase
& pengadilan dan menutup kemungkinan sengketa ini diketahui oleh orag luar.
Peraturan yang mengatur ada dalam UU RI No. 30/1999.
Ada
3 cara dalam proses alternatif, yaitu:
1.
Mediasi
2.
Konsoliasi
3.
Negosiasi
Mediasi
adalah penyelesaian sengketa melalui seorang penengah atau mediator yang
ditunjuk oleh para pihak. Mediator tidak memutuskan sengketa tapi membimbing
para pihak untuk mencari cara penyelesaian. Tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tata cara, batas waktu, biaya, dsb.
Konsoliasi
adalah langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan dilaksanakan,
dikecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh suatu putusan
yang mempunyai kekuatan hokum tetap.
Negosiasi
adalah cara penyelesaian dengan masing-masing menunjuk juru runding/negosiator.
Hasil kesepakatan juru runding/negosiator dituangkan secara tertulis dan tidak
ada penengah diantara juru ruding.
ANALISIS
SENGKETA(DISPUTE)
Cara
untuk menyelesaikan sengketa sangat bervariasi, berikut adalah beberapa
caranya:
1.
Cara alternatif dengan cara melakukan rapat yang
dilaksanakan dua minggusekali. Rapat ini dihadiri oleh pihak penyedia jasa,
pengguna jasa, dan wakil pemerintah. Kesepakatan yang di hasilkan dalam rapat
ini dibuat berita acara rapat lapangan yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terlibat. Dengan rapat-rapat lapangan yang bersifat rutin diharapkan
segala permasalahan yang terjadi dapat diantisipasi.
2.
Penyelesaian sengketa Arbitrase Ad Hoc, cara ini
dilakukan apabila penyelesaian sengketa di tingkat pertama tidak menghasilkan
kesepakatan diantara kedua pihak. Arbitrase Voluntier dibentuk khusus
untuk menyelesaikan sengketa, Karena itu arbitrase voluntier ini
bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu pula sampai sengketa
diputuskan. Hasil keputusan panitia perdamaian ini bersifat mengikat dan mutlak
untuk kedua belah pihak yang bersengketa.
3.
Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Institusional,
yaitu lembaga permanenseperti yang dijelaskan pada ayat 2 Konversi New York
1958. Arbitrase institusional ini dibentuk oleh organisasi tertentu untuk
menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor sengaja dan sifat
permanen yang membedakannya dengan Ad Hoc. Arbitrase Institusional ini timbul
sebelum sengketa timbul.
4.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah upaya
penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang merupakan jalan terakhir untuk
menghasilkan kepututsan. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 pasal 6 ayat (7),
pengadilan Negeri menerima pendaftaran hasil kesepakatan para pihak yang
bersengketa untuk dilaksanakan dengan itikat baik dalam waktu paling lama 30
hari sejak penandatanganan kesepakatan tersebut.
Apabila
pihak pelaku jasa konstruksi kalah dalam proses penyelesaian sengketa maka ada
tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
1.
Tanggung jawab secara perdata
Pelaku
jasa konstruksi dapat dilihat dari perikatan yang terjadi diantara pengguna
jasa dengan penyedia jasa. Perikatan yang berbentuk kontrak kerja konstruksi
tersebut terkait dengan kitab undang-undang hukum perdata pasal 1233, yaitu
bahwa tiap-taip perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, dan atau karena
undang-undang. Mariam Darus Badrulzaman, (2001), menurut Ilmu Pengetahuan Hukum
Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau
lebih, yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut. Semua hak dan
kewajiban pelaksanaan jasa konstruksi tersebut telah tercantum dalam kontrak
kerja konstruksi.
2.
Tanggung jawab secara pidana
Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1999 membuka peluang sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi,
khususnya Pasal 41 dan Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Tujuan undang-undang
ini adalah untuk melindungi masyarakat yang menderita sebagai akibat
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa. Pada pinsipnya barang
siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi
yang tidak memenuhi persyaratan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan
pekerjaan konstruksi (pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi) atau
kegagalan bangunan (setelah bangunan beroperasi), maka akan dikenai sanksi
pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak
10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Selain sanksi pidana, para profesional
(tenaga ahli) teknik juga akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana yang
diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 Pasal 31, 32, dan 33
juncto PP Nomor 30 Tahun 2000 Pasal 6 ayat (4). Sanksi pidana dirasakan perlu
mengingat bahwa sanksi lain seperti sanksi administrasi bagi pelanggaran
norma-norma hukum Tata Negara dan Tata Usaha Negara, dan sanksi perdata bagi
pelanggaran norma-norma hukum perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan
hukum, yaitu rasa keadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1989), sanksi pidana
ini dapat dianggap sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Daftar pustaka:
https://www.academia.edu/18576620/SENGKETA_KONSTRUKSI
https://www.asdar.id/apakah-itu-fidic-ini-dia-penjelasan-lengkapnya/
http://yandhiwijaya-civilengineering.blogspot.com/2009/08/klaim-konstruksi.html
https://www.pengadaan.web.id/2016/11/aspek-hukum-dalam-jasa-konstruksi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar